Rabu, 27 Februari 2013

Mengenal Obat Dokter



MEFINAL 500 MG

KOMPOSISI
Mefenamic acid / Asam mefenamat


INDIKASI
Nyeri pada kondisi rematik, luka jaringan lunak, kondisi muskuloskeletal lainnya yang terasa sakit, dismenore (nyeri pada saat haid), sakit kepala, sakit gigi, nyeri sesudah operasi.


KONTRA INDIKASI
Ulserasi peptik atau usus, penyakit peradangan usus besar, kerusakan hati atau ginjal.


PERHATIAN
Hamil, dehidrasi, epilepsi, asma.
Interaksi obat : antikoagulan oral.


EFEK SAMPING
Gangguan & perdarahan saluran pencernaan, ulkus peptikum, sakit kepala, mengantuk, pusing, gugup, gangguan penglihatan, kemerahan kulit, diskrasia darah, sakit ginjal.


INDEKS KEAMANAN PADA WANITA HAMIL
Penelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin ( teratogenik atau embriosidal atau lainnya) dan belum ada penelitian yang terkendali pada wanita atau penelitian pada wanita dan hewan belum tersedia. Obat seharusnya diberikan bila hanya keuntungan potensial memberikan alasan terhadap bahaya potensial pada janin.


KEMASAN
Kaplet salut selaput 500 mg x 10 x 10 biji.


DOSIS
Dewasa & anak berusia lebih dari 14 tahun : 500 mg kemudian 250 mg tiap 6 jam.
Anak berusia 6 bulan : 3-6,5 mg/kg berat badan tiap 6 jam.
Maksimal 7 hari.


PENYAJIAN
Dikonsumsi bersamaan dengan makanan

sumber: http://apotik.berkahanugrah.net/produk-285-mefinal-500-mg.html



CLINDAMYCIN 150 MG


Komposisi :  

Tiap kapsul mengandung 169,5 mg klindamisin hidroklonda setara dengan 150 mg klindamisin.
Tiap kapsul mengandung 339 mg klindamisin hidroklonda setara dengan 300 mg klindamisin.


Cara Kerja Obat :

Klindamisin dapat bekerja sebagai bakteriostatik maupun baktensida tergantung konsentrasi obat pada tempat infeksi dan organisme penyebab infeksi. Klindamisin menghambat sintesa protein organisme dengan mengikat subunit ribosom 50 S yang mengakibatkan terhambatnya pembentukan ikatan peptida. Klindamisin diabsorbsi dengan cepatoleh saluran pencernaan.

Indikasi

Efektif untuk pengobatan infeksi serius yang disebabkan oleh bakten anaerod, streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus, seperti :
infeksi saluran pernafasan yang serius.
Infeksi tulang dan jaringan lunak yang serius.
Septikemia.
Abses intra-abdominal.
Infeksi pada panggul wanita dan saluran kelamin.

DosisDewasa : Infeksi serius 150-300 mg tiap 6 jam.
Infeksi yang lebih berat 300- 450 mg tiap 6 jam. Anak-anak : Infeksi serius 8-16 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 3 - 4.


Infeksi yang lebih berat 16-20 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 3-4 Untuk menghindari kemungkinan timbulnya iritasi esofageal, maka obat harus ditelan dengan segelas air penuh.
Pada infeksi streptokokus beta hemolitik, pengobatan harus dilanjutkan paling sedikit 10 hari.

Peringatan dan Perhatian

Bila terjadi diare, pemakaian klindamisin harus dihentikan.
Perhatian harus diberikan untuk penderita yang mempunyai riwayat penyakit saluran pencernaan.
Selama masa terapi yang lama, tes fungsi hati, ginjal dan hitung sel darah harus dilakukan secara periodik.
Pemakaian pada bayi dan bayi baru lahir, fungsi dari sistem organ harus dimonitor.
Keamanan pemakaian pada wanita hamil dan menyusui belum diketahui.
Pengunaan klindamisin kadang-kadang menimbulkan pertumbuhan yang | berlebihan dari organisme yang tidak peka, terutama ragi. Oleh karena itu | kemungkinan timbulnya superinfeksi dengan bakteri dan fungsi perlu diamati. § Pada pasien dengan penyakit ginjal yang sangat berat dan atau penyakit hati yang g sangat berat disertai dengan gangguan metabolik agar diperhatikan pemberian dosisnya, serta lakukan monitoring terhadap kadar serum klindamisin selama terapi dengan dosis tinggi.
Terapi dengan klindamisin dapat menyebabkan kolitis berat yang dapat berakibat fatal Oleh karena itu pemberian klindamisin dibatasi untuk infeksi serius dimana tidak dapat diberikan antimikroba yang kurang toksis misalnya eritromisin. Klindamisin tidak boleh digunakan untuk infeksi saluran nafas bagian atas. Karena klindamisin tidak dapat mencapai cairan serebrospinal dalam jumlah yang memadai, maka klindamisin tidak dapat digunakan untuk pengobatan meningitis.


Efek Samping

Saluran pencernaan, seperti mual, muntah dan diare.
Reaksi hipersensitif, seperti rash dan urtikaria.Hati : Penyakit kuning, abnormalitas pemeriksaan fungsi hati.
Ginjal : Klindamisin tidak bersifat langsung terhadap kerusakan ginjal.
Hematopoietik : Neutropenia (leukopenia dan eosinofilia sementara).
Muskuloskeletal : Poliartritis.

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap klindamisin atau linkomisin.


Interaksi Obat

Senyawa penghambat neuromuskular, seperti aminoglikosida dan eritromisin.

Cara Penyimpanan

Simpan di tempat yang sejuk dan kering.


Kemasan dan Nomor Registrasi

Clindamycin 150 mg kapsul, kotak 5 blister @ 10 kapsul. No. Reg. GKL9720922101A1 Clindamycin 300 mg kapsul, kotak 5 blister @ 10 kapsul. No. Reg. GKL9720922101B1

HARUS DENGAN RESEP DOKTER

Jumat, 22 Februari 2013

7 Penyakit menular Di Musim Banjir




1. Diare

Diare memiliki hubunagn kebersihan individu (personal hygiene) dan lingkungan. Potensi banjir yang meningkat membuat sumber air dari sumur dangkal ikut tercemar. Ketersediaan air bersih di pengungsian bisa menimbulkan penyakit diare disertai penularan yang cepat.Langkah antisipasi: biasakan cuci tangan dengan sabun setiap akan makan atau minum serta sehabis buang hajat. Kedua, pastikan merebus air minum hingga mendidih setiap hari. Ketiga, menjaga kebersihan lingkungan, hindari tumpukan sampah di sekitar tempat tinggal. Keempat, hubungi segera petugas kesehatan terdekat bila ada gejala-gejala diare.

2. Demam berdarah

Musim hujan menimbulkan peningkatan tempat perindukan nyamuk aedes aegypti ( nyamuk penular penyakit demam berdarah ). Banyaknya sampah seperti kaleng bekas, ban bekas, dan tempat-tempat yang bisa terisi air dan menjadi genangan akan menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Hal ini tentu membuat risiko terjadinya penularan juga semakin meningkat. Langkah antisipasi: Aktif dengan gerakan 3 M, yaitu mengubur kaleng-kaleng bekas, menguras tempat penampungan air secara teratur, dan menutup tempat penyimpanan air dengan rapat. Selain itu, masyarakat diharapkan segera membawa anggota keluarganya ke sarana kesehatan bila ada yang sakit dengan gejala panas tinggi tanpa sebab yang jelas, disertai adanya tanda-tanda pendarahan.

3. Penyakit leptospirosis

Penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri yang disebut leptospira. Penyakit ini termasuk salah satu penyakit zoonosis karena ditularkan melalui hewan atau binatang seperti tikus, melalui kotoran dan air kencingnya. Saat musim hujan, tikus-tikus keluar dari tempat tinggalnya dan berkeliaran di sekitar manusia sehingga kotoran dan air kencingnya akan bercampur dengan air banjir. Seseorang yang memiliki luka, kemudian bermain atau terendam air banjir yang sudah tercampur dengan kotoran atau kencing tikus yang mengandung bakteri lepstopira, berpotensi terinfeksi dan jatuh sakit. Langkah antisipasi: Menekan populasi dan hindari adanya tikus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal, dengan selalu menjaga kebersihan. Kedua, hindari bermain air saat terjadi banjir, terutama bila memiliki luka. Ketiga, gunakan pelindung seluruh tubuh seperti sepatu jika terpaksa harus memasuki area banjir. Keempat, segera berobat ke sarana kesehatan bila sakit punya gejala panas tiba-tiba, sakit kepala, dan menggigil.

4. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

Penyebab ISPA dapat berupa bakteri, virus, dan berbagai mikroba lainnya. Gejala utama dapat berupa batuk dan demam. Jika berat, maka dapat atau mungkin disertai sesak napas, nyeri dada, dan lain-lain.Penanganannya: Istirahat; pengobatan simtomatis sesuai gejala, dan mungkin diperlukan pengobatan kausal untuk mengatasi penyebab; meningkatkan daya tahan tubuh; dan mencegah penularan terhadap orang sekitar (misalnya dengan menutup mulut ketika batuk, tidak meludah sembarangan). Faktor berkumpulnya banyak orang—misalnya di tempat pengungsian korban banjir—juga berperan dalam penularan ISPA.

5. Penyakit kulit.

Penyakit kulit dapat berupa infeksi, alergi, atau bentuk lain. Jika musim banjir datang, maka masalah utamanya adalah kebersihan yang tidak terjaga baik. Seperti juga pada ISPA, berkumpulnya banyak orang juga berperan dalam penularan infeksi kulit.

6. Penyakit saluran cerna lain,

Misalnya demam tifoid Dalam hal ini, faktor kebersihan makanan memegang peranan penting.

7. Memburuknya penyakit kronis yang mungkin memang sudah diderita.

Hal ini terjadi karena penurunan daya tahan tubuh akibat musim hujan berkepanjangan, apalagi bila banjir yang terjadi selama berhari-hari.

Agar tidak mudah terhindar penyakit menular lainnya, kalian harus hidup bersih, makan yang baik dan bersih, istirahat cukup, dan sering cuci tangan pakai sabun.

Peringatan Untuk Berhati-hati Dalam Bergaul



PERINGATAN UNTUK BERHATI-HATI DALAM BERGAUL
(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.)

Khutbah Pertama
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَمَرَ بِمُصَاحَبَةِ الْأَخْيَارِ وَنَهَى عَنْ مُصَاحَبَةِ الْأَشْرَارِ، فَقَالَ: {ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣﭤ } وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَه، بَيَّنَ لِعِبَادِهِ طُرُقَ الْخَيْرِ لِيَسْلُكُوْهَا، وَبَيَّنَ لَهُمْ طُرُقَ الشَّرِّ لِيَجْتَنِبُوْهَا، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ رَغَّبَ فِيْ اخْتِيَارِ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَحَذَّرَ مِنْ جَلِيْسِ السُّوْءِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ وَتَمَسَّكَ بِسُنَّتِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا،
أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى فَتَقْوَى اللهِ وِقَايَةٌ مِنَ الشَّرِّ وَالْعَذَابِ وَسَبَبٌ مُوْصِلٌ لِلْخَيْرِ وَالثَّوَابِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah l yang telah memerintahkan kita agar mencari teman yang baik dan melarang kita untuk berteman dengan orang yang jelek agama dan budi pekertinya. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain Allah l semata dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah l karuniakan kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya, serta kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.

‘Ibadallah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l, kapan pun dan di mana pun kita berada. Dengan bertakwa, seseorang akan terjaga dari terjatuh pada kemaksiatan dan dengan bertakwa, berarti seseorang telah membentengi dirinya dari terkena azab Allah l.

Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui, bahwa manusia dalam kehidupannya di dunia tidak bisa hidup sendiri dan memisahkan diri secara total dari manusia lainnya. Bahkan, setiap orang butuh bertemu dan berkumpul dengan yang lainnya. Maka, bertemu dan berkumpulnya seseorang dengan orang lain ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap masing-masing orang, sesuai dengan keadaan orang-orang yang dia bertemu atau berkumpul bersamanya. Bahkan seseorang bisa diketahui keadaan agama dan akhlaknya dari teman-teman dekatnya yang senantiasa bersamanya.
Oleh karena itu, kita dapatkan banyak ayat dan hadits yang menganjurkan untuk memilih teman yang baik serta berhati-hati dan menjauh dari teman yang jelek. Di antaranya disebut dalam firman Allah l:
“Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah kepada Rabb mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini.” (al-Kahfi: 28)
Ayat ini memberikan bimbingan kepada kita untuk berteman dengan orang-orang yang baik, yaitu orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah l dan ikhlas dalam menjalankannya. Menjadikan mereka sebagai teman akan membuahkan kebaikan dan manfaat yang besar. Maka seseorang yang menginginkan kebaikan tidak akan meninggalkan mereka meskipun seandainya mereka adalah orang-orang yang miskin.
Adapun dalam hadits, Nabi n bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً.
“Permisalan teman yang baik dan jelek seperti seseorang yang membawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Seseorang yang membawa minyak wangi terkadang akan memberi minyak tersebut dengan cuma-cuma atau terkadang akan menjual sebagiannya atau paling tidak engkau akan mencium bau wangi darinya. Adapun pandai besi, maka terkadang akan membuat bajumu terkena api atau paling tidak engkau akan mendapatkan bau yang tidak sedap.” (Muttafaqun ‘alaih)
Di dalam hadits ini, Nabi n memberikan permisalan sehingga lebih mendekatkan pada kejelasan tentang besarnya manfaat teman yang saleh dan bahayanya teman yang jelek. Dalam setiap keadaan, orang yang saleh akan menjadi sebab kebaikan bagi yang menjadikannya sebagai temannya. Dia bagaikan orang yang membawa minyak wangi sehingga orang yang bersamanya barangkali akan diberi sebagai hadiah untuknya atau kalau dia sangat membutuhkannya maka bisa membelinya, atau paling tidak dia akan mendapatkan baunya yang wangi.
Demikianlah, seseorang ketika bersama dengan orang yang baik agama dan akhlaknya maka dia akan mendapatkan bimbingan dan nasihat darinya. Dia akan melihat ibadahnya sehingga dia bisa memperbaiki tata cara ibadahnya dan dia pun bisa melihat akhlaknya sehingga bisa mencontohnya. Paling tidak, ketika bersamanya dia akan merasakan ketenangan dan kelapangan di dadanya.

Hadirin rahimakumullah,
Sebaliknya, seseorang yang menjadikan orang yang jelek agama dan akhlaknya sebagai temannya, maka teman yang demikian akan menjadi racun dan merusak agama dan akhlaknya. Teman yang jelek seperti ini akan mendorong teman-teman dekatnya untuk berbuat maksiat atau paling tidak akan membiarkan teman dekatnya dalam kemaksiatan. Dia ibarat seorang pandai besi yang membuat orang yang berada di dekatnya akan rusak bajunya karena terkena percikan api atau paling tidak dia akan mencium bau yang tidak enak ketika berada di dekatnya.

Hadirin rahimakumullah,
Sungguh, setiap orang harus hati-hati dalam berteman, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak dan keluarganya. Seseorang yang tidak mau mengikuti bimbingan Islam dia akan menyesal di dunia dan akhirat. Perhatikanlah firman Allah l,
Pada hari kiamat kelak, orang yang zalim akan menggigit dua tangannya (karena menyesal), seraya berkata, “Aduhai kiranya (dahulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dahulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu telah datang kepadaku dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (al-Furqan: 27—29)

Kaum muslimin rahimakumullah,
Oleh karena itu, marilah masing-masing kita melihat pada dirinya dan siapa teman-teman dekatnya. Kalau dia mendapatkan teman dekatnya adalah orang yang saleh, maka dia harus menjaganya untuk selalu menjadi teman dekatnya.
Adapun jika dia dapati teman-teman dekatnya adalah orang yang mengajak kepada kemaksiatan atau membiarkan dirinya terus di atas kemaksiatan, maka tinggalkanlah dia. Hal ini karena bergaul dengannya akan merusak agama dan akhlaknya, sedangkan menjauh darinya adalah suatu keselamatan. Kecuali kalau mendekatinya dengan maksud untuk menasihatinya dan dia memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka ini adalah maksud yang baik. Namun, kalau untuk sekadar berkumpul dan menjadikannya sebagai teman atau untuk mendengarkan ucapan-ucapannya, maka hal ini akan membahayakan dirinya. Apalagi pada kenyataannya, seseorang lebih mudah untuk bergaul dengan orang-orang yang tidak baik akhlaknya, dan umumnya setelah bergaul sulit untuk memutuskan hubungan dengannya.
Oleh karena itu, setiap orang harus berhati-hati dalam menjaga dirinya, keluarga, dan anak-anaknya dari berteman dan bergaul dengan orang-orang yang rusak agama dan akhlaknya.
أَسْأَلُ اللهَ أَنْ يُثْبِتَ الْجَمِيْعَ عَلَى صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ، وَأَنْ يُعِيْذَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْ جُلَسَاءِ السُّوْءِ، وَيَحْفَظُنَا وَإِيَّاكُمْ باِْلإِسْلاَمِ.
Khutbah Kedua
الحَمْدُ للهِ، حَمْداً كَثِيْراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Mencintai orang-orang yang istiqamah di atas jalan Rasulullah n merupakan ibadah, dan berkumpul dengan mereka merupakan kebaikan yang besar. Sementara itu, bergaul dan berteman dengan orang-orang yang rusak agamanya adalah sangat berbahaya, bahkan bisa menyebabkan su’ul khatimah (akhir hidup yang buruk), nas’alullah as-salamah (kita memohon keselamatan kepada Allah).
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang menceritakan tentang apa yang terjadi pada paman Nabi n. Al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dengan sanadnya, ketika Abu Thalib dalam keadaan sakratul maut, Nabi n datang menemuinya untuk mengajaknya masuk Islam. Namun pada saat itu, di sampingnya ada dua orang yang saat itu dalam keadaan kafir yatu ‘Abdullah ibn Abi Umayyah dan Abu Jahl. Maka ketika Nabi n mengatakan kepada pamannya,
يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, sebagai ucapan yang dengannya akan aku bela engkau di sisi Allah.”
Namun, kedua orang kafir yang berada di sebelahnya mengatakan,
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
“Apakah kamu membenci agama ‘Abdul Muthalib?”
Nabi n pun mengulang ucapannya dan kedua orang tersebut pun membalas dengan mengulangi ucapannya pula. Pada akhirnya, ucapan Abu Thalib, dia tetap di atas agama ‘Abdul Muthalib dan tidak mau mengucapkan Laa ilaaha illallah.
Hadirin rahimakumullah,
Lihatlah, bagaimana akibat memiliki teman dekat yang jelek sehingga pada akhirnya seseorang mati dalam keadaan su’ul khatimah. Lihatlah bagaimana teman yang jelek akan mengajak seseorang untuk tetap di atas agama jahiliah dan menghalanginya untuk mengucapkan kalimat agung yang akan menjadi sebab masuknya dirinya ke dalam jannah/surga.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Termasuk orang yang berbahaya untuk dijadikan teman dekat atau untuk dihadiri dan didengarkan perkataannya adalah orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dalam memahami Islam. Allah l berfirman,
“Apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (al-An’am: 68)

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam mempelajari dan mendengarkan penjelasan tentang agama. Lihatlah, bagaimana akibat duduk di majelis-majelis orang yang tidak amanah dalam menyampaikan agama sehingga muncul pemuda-pemuda yang berpemikiran Khawarij, yang di antaranya memiliki keyakinan bermudah-mudahan dalam mengafirkan serta menentang dan menjelek-jelekkan pemerintah di depan umum. Bahkan mereka dengan mengatasnamakan jihad yang tidak pada tempatnya melakukan peledakan dan bom bunuh diri di berbagai tempat. Sungguh, semua ini akibat dari tidak berhati-hati dalam bergaul dan memilih teman.
Mudah-mudahan Allah l memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk berjalan di atas jalan yang diridhai-Nya.



Catatan Kaki:

Kami tidak mencantumkan doa pada rubrik “Khutbah Jumat” agar khatib yang ingin membaca doa memilih doa yang sesuai dengan keadaan masing-masing.


Source : http://asysyariah.com/peringatan-untuk-berhati-hati-dalam-bergaul.html

Alcohol dalam Obat dan Parfum



Alkohol dalam Obat dan Parfum

Banyak pertanyaan seputar alkohol yang masuk ke meja redaksi, kaitannya dengan obat, kosmetika, atau pun lainnya. Berikut ini penjelasan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari.

Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol1, maka di sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz t berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”2
Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi r :

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)
Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut (cologne), beliau berkata: “Parfum (cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut…
Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya3, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa , 6/396 dan 10/38-39)
Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk mengguna-kannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang sema-camnya…
Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi peng-halang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggu-nakanya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah I, walhamdulillah.
Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk diting-galkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah n:

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Dan hanya Allah I lah yang memberi taufik.”
Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz t ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh meng-gunakannya dan tidak boleh mem-perjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik z:

“Rasulullah n melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidang-kannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.”4
Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t dan Asy-Syaikh Al-Albani t berpendapat bahwa pada permasa-lahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat?
Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.
Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah5, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak mema-bukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang mema-bukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah n mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”
Asy-Syaikh Al-Albani t ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani t yang sangat rinci. Beliau t berkata: “Untuk memahami makna hadits:

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.”
Mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi mema-bukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan?
Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam…
Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.
Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah n bersabda:

“Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…”7
Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut.
Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin t dan Asy-Syaikh Al-Albani t, lebih dekat kepada kebenaran.
Wallahu a’lam.

1 Perlu diketahui bahwa alkohol (alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb., sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.
2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).
3 ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.
4 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz (Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar c, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).
5 Lihat catatan kaki no. 3
6 Lihat haditsnya secara lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.


Source: http://asysyariah.com/alkohol-dalam-obat-dan-parfum.html

Hukum Istri Meminta Khulu'




Hukum Khulu’
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)

Syariat Khulu’ dan Hikmahnya
Terdapat dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah tentang disyariatkannya khulu’, di antaranya adalah:
1. Firman Allah l:
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)

2. Hadits Ibnu ‘Abbas c:
جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ n فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْر (إِنِّي لاَ أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ وَلَكِنِّي لاَ أُطِيقُه). فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا.
Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi n dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku takut kekufuran.” (Pada riwayat lain, “Sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku tidak sanggup bersamanya.”)
Nabi n bersabda kepadanya, “Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Ia lalu mengembalikan kebunnya kepada Tsabit dan Nabi n pun memerintahkan Tsabit memisahnya. Dia pun memisahnya.” (HR. al-Bukhari dan lainnya)
Kekufuran yang dimaksud dalam hadits ini adalah kufur (durhaka) terhadap suami, yaitu tidak mensyukuri kebaikannya dengan menaati dan menunaikan haknya, tetapi ingkar terhadapnya dengan melalaikan hak-haknya.

Kedua dalil di atas menunjukkan bahwa hikmah disyariatkannya khulu’ adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum-hukum Allah l dalam kehidupan suami istri akibat kebencian seorang istri terhadap akhlak, agama (amalan), ataupun fisik suami.

Masalah: Kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran hukum-hukum Allah l dalam kehidupan suami istri akibat kebencian seorang istri terhadap akhlak, agama (amalan), atau fisik suami, sudah cukup menjadi alasan meminta khulu’.
Tidak dipersyaratkan harus terjadinya nusyuz (kedurhakaan istri kepada suami) atau perlakuan suami yang tidak baik (tidak memberi hak istri) sebagai alasan yang membolehkan meminta khulu’. Inilah pendapat jumhur dan yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar.

Masalah: Yang tampak dari ayat di atas, khulu’ tidak boleh dilakukan kecuali jika ada kekhawatiran pada keduanya (suami dan istri)
Artinya, si istri khawatir tidak dapat menaati suaminya sebagaimana mestinya dan suaminya pun khawatir tidak dapat berlaku baik kepada istrinya. Namun, hadits Ibnu ‘Abbas c menunjukkan bahwa adanya kekhawatiran dari pihak istri saja cukup sebagai alasan dibolehkannya khulu’. Jadi, tidak dipersyaratkan harus ada kekhawatiran dari kedua belah pihak. Wallahu a’lam.

Hukum Istri Meminta Khulu’ dan Hukum Suami Menanggapinya
Khulu’ terkait dengan dua pihak, yaitu pihak istri selaku yang menuntut khulu’ dan pihak suami selaku yang menjatuhkan khulu’. Untuk itu, masalah ini kami urai menjadi dua pembahasan.

1. Hukum istri meminta khulu’
Seluruh ulama sepakat akan bolehnya khulu’, selain pendapat syadz (ganjil) dari Abu Bakr al-Muzani yang memandang tidak boleh dengan klaim bahwa ayat tersebut telah mansukh (dihapus) hukumnya. Pendapat ini gugur secara dalil, karena tidak boleh mengklaim suatu nash telah mansukh (dihapus hukumnya) hanya dengan dugaan tanpa dalil. Di sini, tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu.
Hadits Ibnu ‘Abbas c menunjukkan bahwa istri Tsabit bin Qais meminta khulu’ karena membenci fisik suaminya yang jelek sehingga khawatir durhaka terhadap suaminya karena tidak sanggup hidup bersamanya.
Ucapan istri Tsabit pada hadits tersebut, “Aku tidak mencela Tsabit perihal agama dan akhlaknya” menunjukkan bahwa merupakan hal biasa bagi seorang istri meminta khulu’ jika ia membenci akhlak atau agama (amalan) suaminya yang jelek. Ini diterangkan oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin dalam Fath Dzil Jalali wal Ikram.
Oleh karena itu, boleh seorang istri meminta khulu’ dari suaminya jika ia membenci akhlak, agama (amalan), atau fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu menegakkan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikannya ketika hidup bersamanya.
Kelemahan dan kejelekan agama yang dimaksud di sini adalah yang tidak sampai taraf kekafiran. Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam asy-Syarh al-Mumti’, “Kejelekan agama yang dimaksud adalah kejelekan agama yang tidak sampai pada taraf menjadikan pelakunya kafir, seperti suaminya melalaikan shalat jamaah, minum khamr (minuman beralkohol yang memabukkan), merokok, mencukur jenggot, atau semisalnya.”
Abu Thalib (salah seorang ulama mazhab Hanbali) menukil dari al-Imam Ahmad, “Jika seorang istri membenci suaminya sedangkan suaminya mencintainya, saya tidak menyuruhnya meminta khulu’ dan sepatutnya dia bersabar.”
Al-Qadhi membawa nash ucapan al-Imam Ahmad ini kepada hukum mustahab (sunnah), karena al-Imam Ahmad telah membolehkan khulu’ pada beberapa tempat. Artinya, boleh meminta khulu’, tetapi bersabar lebih baik (utama). Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih kuatnya hukum makruh meminta khulu’ pada kondisi ini.
Akan tetapi, jika khawatir terkena dampak negatif dari kejelekan agama suami, semakin kuat bolehnya meminta khulu’. Maka dari itu, ketika al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz ditanya tentang hukum seorang istri minta khulu’ dari suaminya yang peminum khamr, mereka berfatwa—sebagaimana dalam Fatawa al-Lajnah—, “Jika suaminya tidak mau berhenti minum khamr, ia boleh meminta khulu’ darinya agar terhindar dari efek negatif terhadap dirinya dan anak-anaknya.”
Adapun jika kejelekan agama suami sampai pada taraf kekafiran dan tidak bisa lagi dinasihati, ia wajib meminta khulu’ karena haram baginya bersuamikan orang kafir, berdasarkan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’.
Ini ditegaskan oleh as-Sa’di, Ibnu ‘Utsaimin, dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai Ibnu Baz.
Termasuk di dalamnya jika suami menganut akidah bid’ah yang bertentangan dengan akidah Islam dan membatalkan keislaman, seperti akidah Rafidhah1, akidah hululiyah dan ittihadiyah2, serta akidah Jahmiyah3.
Termasuk pula jika suami tidak melaksanakan shalat wajib lima waktu dan meninggalkannya sama sekali, menurut salah satu pendapat ulama yang menganggapnya kafir (murtad).
Oleh karena itu, Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah berfatwa wajibnya seorang istri meminta khulu’ dari suami yang meninggalkan shalat fardhu lima waktu karena mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat wajib lima waktu adalah kafir (murtad).
Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam asy-Syarh al-Mumti’, “Wajib bagi istrinya berpisah darinya dengan segala kemampuan yang dimiliki. Seluruh kaum muslimin berkewajiban membantunya dengan harta (untuk melakukan khulu’).”
Bahkan, as-Sa’di dalam al-Fatawa as-Sa’diyyah berfatwa bahwa istri wajib meminta khulu’ dari suami yang tidak menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dengan perzinaan (tidak ‘iffah) jika ia tidak bisa lagi dinasihati. Hal ini kuat, mengingat haramnya menikah dengan pezina, wallahu a’lam.

2. Hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri
Jika istri meminta khulu’ dalam bentuk yang dibolehkan oleh syariat’, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang hukum suami dalam menanggapinya dan mengkhulu’nya.
a. Pendapat yang mengatakan wajib.
Alasannya, inilah yang tampak dari perintah Rasulullah n kepada Tsabit bin Qais. Di samping itu, kebersamaan wanita itu bersama suaminya akan bermudarat terhadapnya, sedangkan mencegah mudarat serta meniadakannya dari seorang muslimah adalah wajib.
Pendapat ini dirajihkan oleh ash-Shan’ani dan al-‘Utsaimin. Berdasarkan hal ini, hakim berwenang memaksanya agar mengkhulu’ istrinya jika dia enggan.
b. Pendapat yang mengatakan tidak wajib.
Alasannya, perintah Rasulullah n kepada Tsabit adalah arahan semata, bukan perintah wajib. Berdasarkan hal ini, hakim hanya sekadar memberi arahan dan menasihatinya. Jika dia menyambut, itulah yang diinginkan. Jika dia enggan, dibiarkan saja.
Tampaknya pendapat pertama lebih kuat, wallahu a’lam.
Adapun jika dikhawatirkan wanita itu akan nekat bunuh diri, nekat mencelakai orang lain, atau bentuk kenekatan lainnya yang bisa saja terjadi akibat sakit hati yang dideritanya bersama suami yang dibencinya, tidak diragukan lagi bahwa wajib atas suaminya menyambut permintaan khulu’nya dan memisahkannya. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu ‘Utsaimin.

Besar Kecilnya Tebusan
Jumhur (mayoritas) ulama serta empat imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) berpendapat boleh bagi si suami mengambil tebusan lebih besar dari mahar yang telah dia berikan kepada istrinya. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbas g.
Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫﯬ
“Tidak ada dosa atas keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)
Kata مَا ( ma’) pada ayat tersebut adalah isim maushul yang berfungsi secara bahasa untuk menunjukkan makna yang umum. Ini berarti secara umum meliputi seluruh jenis tebusan, ragam, nilai, dan tata cara pembayarannya.
Akan tetapi, jumhur berbeda pendapat tentang makruh atau tidaknya. Masalahnya, datang riwayat tambahan pada hadits Ibnu ‘Abbas c dengan lafadz:
أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتْ النَّبِيَّ n فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ, وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلاَمِ لاَ أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ n: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ n أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلاَ يَزْدَادَ.
“Jamilah bintu Salul telah mendatangi Nabi n lantas berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mencela Tsabit atas agama dan akhlaknya, tetapi aku benci kekufuran dalam Islam karena aku tidak sanggup menahan kebencianku kepadanya.’ Nabi n pun bersabda kepadanya, ‘Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka Nabi n memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebunnya dari wanita itu dan tidak mengambil lebih dari itu.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Riwayat ini dihukumi sahih oleh al-Albani.4
Terdapat pula penguat yang semakna dengannya dari riwayat mursal ‘Atha’ dari Rasulullah n yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dan mursal Abi Zubair dari Rasulullah n yang dikeluarkan ad-Daraquthni.5
Adapun riwayat mursal Abu Zubair lafadznya sebagai berikut.
فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ الَّتِيْ أَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعْمْ، وَزِيَادَةً. فَقَالَ النَّبِيُّ n:

أَمَّا الزِّيّادَةُ فَلاَ، وَلَكِنْ حَدِيْقَتَهُ. قَالَتْ: نَعَمْ.
“Nabi n berkata, ‘Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya yang telah diberikannya kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Ya, bahkan kuberi tambahan.’ Nabi n berkata, ‘Adapun tambahannya tidak usah, tetapi kembalikan kebunnya saja.’ Ia menjawab, ‘Ya’.”
Ibnul Qayyim t juga menguatkan hadits ini.
Oleh karena itu, Ahmad berpendapat hal itu boleh tetapi makruh, berdasarkan perpaduan makna ayat dan hadits tersebut. Ini dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu ‘Utsaimin.
Sementara itu, asy-Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah rahimahumullah berpendapat tidak makruh dengan alasan hadits tersebut lemah. Seandainya hadits tersebut tsabit (tetap), larangan Nabi n itu kemungkinannya sebagai saran dan bimbingan saja kepadanya agar tidak menyusahkan diri dengan memberi lebih dari maharnya. Meskipun begitu, al-Imam Malik t mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan keluhuran akhlak.
Sepertinya, yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan makruh, wallahu a’lam.6



Catatan Kaki:

1 Rafidhahnya Khumaini (Khomeini) yang sesat dan kafir, tokoh Syiah Rafidhah Iran. Lihat pembahasan tentang Syiah Rafidhah pada Rubrik Manhaji edisi 05.
2 Keduanya adalah aliran ekstrem kaum Sufi. Hululiyah dipelopori oleh al-Husain al-Hallaj. Adapun ittihadiyah (paham wihdatul wujud) oleh Ibnu Arabi yang sesat dan kafir.
3 Akidah Jahm bin Shafwan yang sesat dan kafir.

4 Lihat kitab Shahih Ibnu Majah (no. 2086) dan al-Irwa’ (no. 2037).
5 Riwayat mursal adalah riwayat seorang tabi’in (pengikut sahabat) dari Rasulullah n. Riwayat seperti ini tergolong dha’if (lemah) karena putus antara tabi’in tersebut dengan Rasulullah n, tetapi bisa jadi syahid (penguat) dalam penguatan hadits.

6 Ada juga yang berpendapat haram, dan ini yang dirajihkan oleh asy-Syaukani, berdalil dengan hadits tersebut.


Souerce: http://asysyariah.com/hukum-khulu.html

Hak-hak Wanita dalam Islam


Hak-hak Wanita dalam Islam
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Sesungguhnya Islam menempatkan wanita pada posisi yang tinggi dan sejajar de-ngan pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda, karena pria dan wanita hakikatnya adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai "warga kelas dua." Benarkah" Simak kupasannya!

Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita, dari semula makhluk yang tiada berharga di hadapan "peradaban manusia", diinjak-injak kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta"ala yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.
Keterangan ringkas yang akan dibawakan, sedikitnya akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita, sejak mereka dilahirkan ke muka bumi, dibesarkan di tengah keluarganya sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.

1. Pada Masa Kanak-kanak
Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia untuk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam memberikan anjuran dalam sabda-Nya:

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ (وَضَمَّ أَصَابِعَهُ)

"Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia1 seperti dua jari ini." Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
"Aisyah radhiyallahu 'anha berkisah: "Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibaginya untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam, kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

"Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka." (HR. ِAl-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan atas hadits di atas: "Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam menyebutnya dengan ujian (ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih memilih anak lelaki), sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta"ala berfirman tentang kebiasaan orang-orang jahiliah:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

"Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah" Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (An-Nahl: 58-59)
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395)
Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.

2. Dalam masalah pernikahan
Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

"Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya." Para sahabat berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis"" "Izinnya adalah dengan ia diam", jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
"Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan)." Beliau menjelaskan, "Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya." (HR. Al-Bukhari no. 5137)
Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu 'anha mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu "alaihi wa sallam, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja"far2 merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar, "Abdurrahman dan Majma", keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata, "Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, Nabi Shallallahu "alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut." (HR. Al-Bukhari no. 6969)
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu 'anhu mengabarkan:

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ

"Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam dalam rangka mengadu, "Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut", ujarnya. Nabi Shallallahu "alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya (apakah meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, "Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini"." (HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu dalam Al-Jami"ush Shahih (3/64), "Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.")
Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta"ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah Subhanahu wa Ta"ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka" Lalu bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan tenang dan tenteram"
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: "Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izinnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu "alaihi wa sallam. Apabila si wanita tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini, bila si wanita masih kecil, karena boleh bagi ayahnya menikahkan gadis kecilnya tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah berstatus janda dan sudah baligh maka tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya, sama saja baik yang menikahkannya itu ayahnya atau yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin."
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: "Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan, apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta"ala dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan si wanita, dan hendaknya si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali." (Majmu" Fatawa, 32/39-40)
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si wanita, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا

"Berikanlah mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (An-Nisa`: 4)
Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta"ala berkata, "Ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat, kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-lakinya dengan budak wanitanya maka tidak wajib adanya mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap." (Al-Jami" li Ahkamil Qur`an, 5/17)

3. Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika remajanya dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta"ala mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta"ala titahkan hal ini dalam Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا

"Rabbmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, ucapkanlah doa, "Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil." (Al-Isra`: 23-24)
Allah Subhanahu wa Ta"ala juga berfirman:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا

"Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan"" (Al-Ahqaf: 15)
Ketika shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas"ud radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ...

"Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah"" Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam menjawab, "Shalat pada waktunya." "Kemudian apa setelah itu"" tanya "Abdullah lagi. Kata beliau, "Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)"." (HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248)
Kata Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu -seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya-, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ

"Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya"" Rasulullah menjawab, "Ibumu." "Kemudian siapa"" tanyanya lagi. "Ibumu," jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, "Kemudian siapa"" "Ibumu." "Kemudian siapa"" tanya orang itu lagi. "Kemudian ayahmu," jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu. (Fathul Bari, 10/493)
Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ...

"Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu"" (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan, "Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah." (Fathul Bari, 5/86)
Sampai pun seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anha. Ia berkisah: "Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam: "Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya"" Beliau menjawab, "Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu." (HR. Al-Bukhari no. 5979)

4. Sebagai Istri
Allah Subhanahu wa Ta"ala memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

"Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik." (An-Nisa`: 19)
Asy-Syaikh "Abdurrahman bin Nashir As-Sa"di rahimahullahu berkata, "Ayat Allah Subhanahu wa Ta"ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma"ruf, menemani, dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya pemenuhannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan." (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:

لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ

"Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah."
"Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu datang mengadu, "Wahai Rasulullah, para istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka." Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ

"Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian." (HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Beliau juga pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ

"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya." (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)
Banyak hak yang diberikan Islam kepada istri, seperti suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya, ia berhak memperoleh nafkah, pengajaran, penjagaan dan perlindungan, yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis yang katanya memperjuangkan hak wanita, padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan, terpuruk dan terinjak-injak"
Wallahul musta"an.

1 Maknanya:

جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ

2 Kemungkinan terbesar Ja"far yang dimaksud adalah Ja"far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu. (Fathul Bari, 12/426)

http://asysyariah.com/syariah.php"menu=detil&id_online=456

Tanggung Jawab Istri Dirumah Suami Menurut Islam



Tanggung Jawab Istri Dirumah Suami Menurut Islam
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah



Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?

Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan dikungkung dalam rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!


Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia terbuang? Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar rumah. Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan pendapatan bagi negara.


Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.


Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya." (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma)


Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)


Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.

Begitu pula seorang suami sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.


Al-Khaththabi rahimahullahu berkata, "Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda. Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga syariat dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum.

Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka. Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang wajib baginya." (Fathul Bari, 13/141)


Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu mengatakan, "Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti, seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan pengaturannya terhadap harta tuannya." (Al-Ikmal, 6/230)


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, "Setiap ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.


Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka, memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya." (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)
Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari atas langit yang ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:


مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ

"Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat, apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya." (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas ).


Dan juga hadits:


إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ


"Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah menyia-nyiakannya." (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)


Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)


Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=625Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah



Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?

Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan dikungkung dalam rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!


Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia terbuang? Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar rumah. Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan pendapatan bagi negara.


Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.


Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya." (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma)


Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)


Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.

Begitu pula seorang suami sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.


Al-Khaththabi rahimahullahu berkata, "Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda. Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga syariat dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum.

Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka. Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang wajib baginya." (Fathul Bari, 13/141)


Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu mengatakan, "Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti, seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan pengaturannya terhadap harta tuannya." (Al-Ikmal, 6/230)


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, "Setiap ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.


Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka, memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya." (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)
Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari atas langit yang ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:


مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ

"Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat, apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya." (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas ).


Dan juga hadits:


إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ


"Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah menyia-nyiakannya." (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)


Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)


Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=625

Seeking Knowledge: A Duty



It was narrated that Anas bin Mâlik said: The Messenger of Allah said “Seeking knowledge is a duty upon every Muslim”. ”

(Sunan Ibn e Majah, Book of Sunnah, Hadith no 224, Classified as Sahih By Allama Albani)


follow me on facebook : http://www.facebook.com/mienn.chtyo?ref=tn_tnmn#

Selasa, 19 Februari 2013

Sholat Khusyu’ – Mungkinkah Sekedar Impian ?



MediaMuslim.Info – Secara etimologi (bahasa), al-khusyu’ memiliki makna al-khudhû’ (tunduk). Seseorang dikatakan telah mengkhusyu’kan matanya jika dia telah menundukkan pandangan matanya. Secara terminologi (istilah syar’i) al-khusyu’ adalah seseorang melaksanakan shalat dan merasakan kehadiran Alloh Subhannahu wa Ta’ala yang amat dekat kepadanya, sehingga hati dan jiwanya merasa tenang dan tentram, tidak melakukan gerakan sia-sia dan tidak menoleh. Dia betul-betul menjaga adab dan sopan santun di hadapan Alloh Subhannahu wa Ta’ala. Segala gerakan dan ucapannya dia konsentrasikan mulai dari awal shalat hingga shalatnya berakhir.

Berikut firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala tentang sholat yang khusyu’, yang artinya: “Yaitu orang-orang yang khusyu’ didalam sholatnya” (QS: Al-Mu’minun:2). Ayat tersebut ditafsirkan oleh Ibnu Abbâs Radhiallaahu anhu bahwa: “Orang-orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang takut lagi penuh ketenangan”. Dan Ali Bin Abi Thalib berkata bahwa ”Yang dimaksud dengan khusyu’ dalam ayat ini adalah kekhusyu’an hati”.

Kiat-kiat yang dilakukan sebelum melaksanakan shalat.
Sebelum memulai ibadah shalat maka perhatikanlah kiat-kiat berikut ini:

Menjawab seruan adzan dengan lafazh sebagaimana yang dikumandang kan oleh muadzin kecuali lafazh: “hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falâh” maka jawabannya adalah “lâ haula walâ quwwata illa billâh” sebagaimana perintah Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam dalam sabdanya, yang artinya: “Apabila kalian mendengar muadzin (mengumandangkan azan) maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya….” (HR: al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya).

Lalu berdo’a selesai adzan dengan do’a yang diajarkan oleh Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam seperti Allahumma Rabba hadzihid da’watit taammah…dst.

Kemudian berdo’a sesuai dengan keinginan masing-masing, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam, yang artinya: ”Do’a antara adzan dan iqomah tidak tertolak” (HR: Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan lainnya)

Berwudhu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam. Melakukan wudhu berarti telah merealisasikan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, yang terdapat dalam firman-Nya, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu, basuhlah tanganmu hingga siku, dan usaplah (sapulah) kepalamu, serta basuhlah kakimu hingga kedua mata kakimu…” (QS: Al-Maidah: 6)

Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda tentang keutamaan wudhu, yang artinya: “Barangsiapa yang berwudhu’, lalu berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, kemudian dia shalat, niscaya dosa antara sholatnya itu dan sholatnya yang lain (berikutnya) diampuni.” (HR: Ibnu Khuzaimah dan Imam Ahmad)

Dan bahkan orang yang berwudhu` itu berarti dia telah menggugurkan dosa-dosanya bersamaan dengan air yang mengalir dari anggota wudhu` yang telah dibasuh. (HR: Ibnu Khuzaimah dan Muslim)

Bersiwak (atau menggosok gigi) sebelum shalat sebagaimana perintah Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam dalam sebuah haditsnya, yang artinya: “Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu’ (dalam riwayat yang lain) setiap kali hendak sholat” (HR: Muttafaq ‘Alaih)

Memakai pakaian yang sopan (layak), bersih dan wangi, serta menjauhi semaksimal mungkin pakaian yang sudah kotor, bau dan tidak layak untuk dipakai dalam shalat. Menghindari pakaian yang ketat sehingga menyebabkan kesulitan untuk bergerak dan bernafas, janganlah memakai pakaian bergambar atau bertulisan agar mata kita terjaga dan juga agar orang lain tidak terganggu, lalu perhatikan juga pakaian yang membungkus tubuh kita, apakah sudah memenuhi syarat? Apakah sudah benar-benar menutupi aurat? Semua hal ini sebagai bentuk realisasi dari firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Wahai manusia pakailah pakaianmu yang indah setiap kali memasuki masjid” (QS:Al-’Araf: 31)

Jagalah konsetrasi dalam melaksanakan shalat dengan cara menghindari tempat dan suasana yang panas atau gerah, sebagaimana larangan Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam untuk tidak shalat Dzuhur pada saat panas sangat menyengat. Beliau Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Laksanakanlah sholat Dzuhur pada waktu panas sudah mereda, karena panas yang sangat menyengat itu adalah hawa panas yang berasal dari neraka jahannam” ( HR: al-Bukhari, Ahmad dll).

Dan jagalah konsentrasi shalat kita dengan memenuhi segala kebutuhan jasmani kita yang mendesak, seperti; kalau seandainya sebelum shalat perut kita terasa mulas, ingin buang air maka janganlah ditahan-tahan, sebab kalau kita shalat sambil menahan perut kita yang mulas pasti konsetrasi shalat kita terganggu.

Demikian juga apabila kita merasa lapar sebelum melaksanakan shalat maka bersegeralah untuk makan untuk memenuhi hajat perut kita tersebut agar rasa lapar itu tidak membuyarkan konsetrasi kita ketika sedang shalat, dan mengenai dua permasalahan diatas Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Tiada sholat ketika makanan sudah terhidang dan tiada sholat ketika seseorang menahan hajat buang airnya” (HR: Muslim, Ahmad dan lain-lain).

Carilah tempat shalat yang tenang, yang jauh dari kebisingan, yang jauh dari suara-suara berisik dan suara-suara gaduh, Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Jauhilah suara-suara berisik seperti di pasar (ketika berada di masjid)” (HR: Muslim)

Oleh karena itu siapa saja yang berada di masjid hendaklah menjaga ketenangan dan ketentraman masjid, apabila kita berdzikir maka lirihkanlah suara dzikir kita, dan apabila kita membaca al-Qur’an maka lirihkanlah suara bacaan Al-Qur’an kita. Jangan sampai suara kita membuyarkan konsentrasi saudara-saudara kita yang sedang bermunajat kepada Alloh Subhannahu wa Ta’ala, Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Rabnya, maka perhatikanlah saudaramu yang sedang bermunajat itu, Janganlah keraskan bacaan Qur’an kalian!” (HR: al-Bukhari dan Imam Malik)

Luangkanlah waktu untuk menunggu datangnya waktu shalat. Meluangkan waktu menunggu datang nya waktu shalat bisa dilakukan di dalam masjid terutama bagi laki-laki, sedangkan bagi wanita maka lebih utama di rumah. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikan keutamaan dan fadhilah yang sangat banyak bagi orang yang menunggu waktu shalat, Sebagaimana Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Senantiasa dihitung perbuatan seorang hamba itu sebagai pahala sholat selama ia menunggu datangnya waktu sholat, dan para malaikat (senantiasa) berdo’a untuknya, “Ya Alloh ampunilah dia dan rahmatilah dia,” sampai seorang hamba itu selesai (melaksanakan sholat) atau ia berhadats, (ada yang bertanya); apa yang dimaksud dengan hadats, (kata Rasululloh); keluar angin dari lubang dubur baik bau maupun tidak” (HR: Muslim dan Abu Daud)

Dalam hadits yang lain beliau Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Maukah aku beritahukan tentang beberapa hal, yang mana Alloh akan menjadikannya sebagai pelebur dosa dan pengangkat derajat kalian? Para shahabat menjawab, “Tentu mau ya Rasululloh,” lalu Rasululloh bersabda, yang artinya: “Sempurnakan wudhu’ walau dalam keadaan tidak menyenangkan (spt; dingin), perbanyak langkah menuju masjid, menunggu sholat setelah melaksanakan sholat, maka yang demikian itu adalah ar-ribath, yang demikian itu ar-ribath.” (HR: Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Muslim)

Ar-ribath adalah senantiasa menjaga kesucian, shalat dan ibadah maka pahalanya diumpamakan seperti jihad di jalan Alloh Subhannahu wa Ta’ala.

Demikianlah kiat-kiat yang perlu kita perhatikan sebelum melak sanakan shalat. Dengan merealisasikan itu semua mudah-mudahan shalat kita menjadi shalat yang khusyu’ dan diterima disisi Alloh Subhannahu wa Ta’ala.

Keutamaan Shalot yang Khusyu’
Sesungguhnya Alloh Subhannahu wa Ta’ala telah memuji orang yang khusyu’ pada banyak ayat dalam al-Qur’an, di antara nya adalah:

Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya telah beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ didalam sholatnya”. (QS: Al-Mu’minun: 1-2)

Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan mintalah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan sholat, karena sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. (QS. al-Baqarah: 45)

Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala pada ayat yang lain, yang artinya: “Mereka yang berdo’a kepada Kami dengan penuh harapan dan rasa takut (cemas), dan mareka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. (QS: Al-Anbiya’: 90)

Alloh Subhannahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Mereka menyungkurkan mukanya dalam keadaan menangis dan kekhusyu’an mereka semakin bertambah” (QS: Al-Isra’: 109)

Alloh Subhannahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih, Apabila dibacakan ayat-ayat Alloh Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS: Maryam: 58)

Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS: Al-Mulk: 12)

Demikian juga beberapa hadits Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam yang menjelaskan tentang keutamaan khusyu’ berikut ini:

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Tujuh golongan yang mendapat naungan Alloh pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Alloh; …(dan disebutkan di antaranya) seseorang yang berdzikir (ingat) kepada Allah dalam kesendirian (kesunyian) kemudian air matanya mengalir.” (HR: Al-Bukhari, Muslim dan lain-lainya)

Nabi Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang mengingat Alloh kemudian dia menangis sehingga air matanya mengalir jatuh ke bumi niscaya dia tidak akan diazab pada hari Kiamat kelak.” (HR. al-Hakim dan dia berkata sanadnya shahih)

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Nabi Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Semua mata (manusia) pada hari Kiamat akan menangis kecuali (ada beberapa orang yang tidak menangis) (pertama) mata yang terjaga dari hal-hal yang diharamkan Allah, (kedua) mata yang dipergunakan untuk berjaga-jaga (pada malam hari) di jalan Allah, (ketiga) mata yang menangis karena takut pada Allah walau (air mata yang keluar itu) hanya sekecil kepala seekor lalat” (HR: Ashbahâny)

Dari Bahaz Bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya semoga Alloh meridhai mereka, kakeknya berkata, “Saya mendengar Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Diharamkan neraka membakar tiga golongan manusia yang disebabkan matanya, (pertama) mata yang menangis karena takut pada Allah, (kedua) mata yang dipergunakan untuk berjaga-jaga (begadang) di jalan Alloh, (ketiga) mata yang terpelihara dari hal-hal yang diharamkan Alloh.” (HR: At-Thabrani, Al-Baghawi dan yang lainnya, al-Hakim mengatakan hadits ini shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi) Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber Rujukan: Taisîr Karimir Rahman, Asy-Syaikh Abdur Rahman Bin Nâshir As-Sa’dy; Tafsir Ibnu Katsir, MediaMuslim.Info)